PERTANYAAN


Jam mejaku berbunyi, aku terbangun dari istirahat siangku. Masih agak ngantuk, kucoba meraih jam kecil berbentuk bulat untuk mematikan alarmnya. “Hhhhh…!” sudah jam dua siang, saatnya bangun. Aku melihat sekitar, sinar matahari menembus jendela kamarku yang terbuat dari kaca bening. Hari ini agak berbeda, matahari sangat cerah, biasanya jam segini mendung hitam sudah mulai menutupi langit. Memang, sekarang musim hujan atau pun musim kemarau tiada beda lagi, sejak pemanasan global melanda dunia, iklim di bumi berubah drastis. Tentu kita juga tak tahu harus menyalahkan siapa, tapi yang jelas, ini ulah manusia.
Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Kuminum segelas air putih lalu beranjak ke meja washatafel untuk mencuci muka. Aku terdiam sejenak waktu becermin, kemudian berkata dalam hati, “Siapa orang tuaku?”, kata itu selalu terlontar di benakku. Aku seperti anak yang tak tahu dan tak pernah kenal akan orang tuanya. Seorang anak yang di temukan di bak sampah oleh seorang kakek tua, dia merawatku, membesarkanku, mendidikku hingga sekarang. Padahal tak ada sedikit pun hubungan darah antara aku dan dia – kakekku –. Entah apa yang bisa aku ucapkan untukmu kakek, yang aku tahu, ribuan terima kasih terucap dari hatiku. Hanya kakek lah satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Tak berselang lama, aku kembali ke kamarku. Aku duduk, menarik nafas agak panjang, kemudian kubuka laci tempat dimana aku menaruh buku kakek. Kubuka lagi buku itu, kulihat foto wanita berjilbab putih itu kembali. Kuperhatikan foto itu, aku tak berfikir apa-apa. Aku pun membuka halaman kedua buku itu. Disitu tertulis tanggal 01 Januari 2009. Sepertinya ungkapan hati kakek pada tanggal itu,
01 Januari 09

Pantai indah malam ini, sorot-sorot lampu kecil, di kafe-kafe kecil
Puluhan pasangan beradu cinta di bebatuan pinggir pantai, angin dingin sedikit menyentak

Suara kembang api mulai terdengar, semua menhambur ingin melihatnya, tapi aku tetap terdiam, duduk di atas batu besar, di tempat remang.
Aku tak tahu, saat ini, aku bahagia atau menangis, aku hanya melihat bayangan kecil, sesosok wanita yang tidak asing di mataku tersenyum brsama ombak pantai kecil yang menghantam karang. Aku tersenyum kecil, sedangkan hatiku menangis keras
Hati yang sepi di tempat ramai, dan menangis di antara mereka yang tertawa
Aku sadar. Semua benar-benar hilang, bagai debu! Hanya ombak, karang, dan angin yang mencoba menghiburku.
Tapi aku tetap tersenyum, walau hati sedikit menangis. Dan mungkin kan selalu begitu!

Ini di tulis tepat pada awal tahun baru 2009. Pada halaman pertama tertulis bahwa kakek putus dengan Dia pada tanggal 16 Desember 2008. Berarti 15 hari setelah kakek putus, kakek benar-benar kehilangan wanita itu. Semua benar-benar hilang, bagai debu. Hanya ombak, karang, dan angin yang mencoba menghiburku. Yah, pada awal tahun baru itu, kakek benar-benar merasakan kepedihan yang begitu dalam atas kekasihnya yang hilang. Aku sedikit mengerti perasaanya saat itu, bagaimana tidak menyakitkan ketika kamu melihat orang-orang tertawa, bersorak sorai menyambut tahun baru, kamu hanya terdiam bisu di atas batu besar di pinggir pantai, dan dalam otakmu hanya ada bayangan seseorang yang kamu harapkan ada di sampingmu saat itu, tapi dia tiada.
Aku tutup buku itu, kupejamkan mataku sejenak. Kembali kutarik nafas panjang lalu kuhempaskan. Pandanganku sekarang tertuju pada sebuah foto pada dinding tepat di depanku. Dalam foto itu aku melihat senyum kakek ketika menggendongku, foto itu di ambil waktu aku masih berumur lima tahun. Benar-benar berbeda, antara senyum kakek pada foto itu dengan isi dari tulisan kakek yang barusan aku baca. Dalam foto itu, aku hanya melihat pancaran kebahagiaan dari senyumnya, tapi jika diteliti agak jauh, pandangan mata kakek dalam foto itu, terasa tiada makna. Mungkinkah benar kata-kata kakek yang terakhir aku baca, “Tapi aku tetap tersenyum, walau hati sedikit menangis. Dan mungkin kan slalu begitu!” benar-benar ia rasakan hingga sekarang? Hhhh… belum bisa aku ambil kesimpulan. Pikiranku terpecahkan sesaat setelah kurasakan perutku memanggil-manggil tanda lapar. Kumasukkan lagi buku itu ke dalam laci, aku pun menuju dapur untuk makan siang.

* * *

Aku duduk di teras depan rumah. Ku genjreng gitarku, kunyanyikan sebuah lagu milik The Coffee. Lagu ini cukup terkenal dengan kata-katanya yang sangat menyentuh hati. “Mungkinkah semua kata dan upaya dalam hati telah kau bunuh dalam-dalam, Luka… dan Luka… itu yang terjadi. Belum puaskah kau memelukku lalu kau tusukkan belati tajam di ruang hatiku…” suaraku agak fals, tapi aku berlagak tak acuh, karena memang aku juga bukan penyanyi, wajar kalau fals. Suara gitarku terdengar keras, mungkin juga terdengar dari jalan yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumahku.
Aku teringat pada seseorang, seseorang yang selama ini hadir dalam mimpiku. Seseorang yang ketika aku melihatnya, aku merasa jatuh ke lubang dalam tanpa dasar. Seseorang yang bisa buatku nyaman saat melihatnya, buatku tertegun saat memandangnya, dan buatku tersenyum saat mengingatnya. Fitri, ya Fitri Falencia, ketua dari Female Team. Dialah gadis yang selama ini muncul dalam mimpiku. Dialah gadis pujaan dimana aku merasakan hal berbeda ketika aku berhadapan dengannya. Tapi sayang, jika sudah menyangkut perasaan, pikiranku menemui jalan buntu, seperti tersesat di tengah padang gersang. Karna cinta itu masih sesuatu yang misteri buat diriku.
Ku genjreng gitarku kembali. Dengan suaraku yang khas, suara yang agak-agak mirip dengan penyanyi legendaris jaman dulu, penyanyi pada era tahun 20-an, Charly ST12. Walaupun sekarang dia sudah tua, tapi jiwa musiknya sungguh sangat luar biasa, memang, dia tidak lagi naik panggung seperti waktu mudanya, tapi dia menghabiskan waktu senjanya dengan menciptakan banyak lagu. Itulah kelebihan komponis & musisi yang satu ini.
“Whoooee…!” aku terkaget saat seseorang berteriak keras dari sampingku sambil menepuk bahu kananku. Aku tersadar, “Hah, ngagetin aja Jep,, kapan datang? Gak keliatan kaya setan!” kataku sambil ketawa agak nyindir. “Bukannya gak keliatan, dirimu yang terlalu banyak ngelamun, sambil gitar lagi, suaranya itu lho, hhh… bikin telinga bocor! Haha…!” dia sedikit serius, tapi akhirnya bercanda lagi. “Enak aja… “ aku terdiam sejenak, kemudian kuteruskan, “Emmm, tumben kesini Jep, ada apaan ni? Pinjem duit lagi?” tapi yang ini agak menyindir. Tapi dia Cuma tertawa kecil lalu berjalan ke arah kiriku, kemudian menjatuhkan dirinya di atas kursi samping kiriku. “Payah…” kataku meneruskan
“Ada duit seratus gak? Pinjem bentar dong, tar malem Aidah ngajak pergi ni! Kantong kosong pula!” sahutnya sambil sedikit meminta. Ya, aku sudah menebak dari awal, karena Jefri nggak mungkin datang ke rumahku tanpa sebuah tujuan, ya inilah tujuan dia biasanya – pinjem duit –. Aidah adalah pacarnya, dia dari sekolah yang sama dengan sekolah kami, cuma beda kelas. Aku ketawa agak keras, “Payah banget lo Jep…! Punya cewek gak punya modal, haduwwww…!” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Ya… pliiisss…!” terusnya dia agak memelas. “Iya iya, nyantai aja, masih tar malem kan?” dia hanya mengangguk, “Masih lama, nyantai aja dulu!” terusku. “Tapi ada kan duitnya?” dia meminta kepastian. “Emmm, nanti aku pinjemin ke bank..” kataku sambil ketawa keras. Dia memukulku dengan tangannya, dan kami pun tertawa bersama memecahkan keheningan. Dia merebut gitar dari tanganku, kemudian menggenjreng dengan kerasnya, bernyanyi dengan suara keras tanpa nada, seakan tak peduli suaranya itu menghibur orang lain atau malah mengganggu telinga orang yang mendengarnya. Aku cuma bisa menggelengkan kepala dan ketawa kecil.

1 comment: